Sabtu, 29 Oktober 2011

Anak Perempuan Di Wilayah Asia Semakin Berkurang

Mengapa orang tua di Asia lebih suka anak laki-laki? Alasannya banyak: anak laki-laki meneruskan nama keluarga, mereka mewarisi kekayaan dalam sebagian besar budaya Asia, mereka sumber sokongan penghasilan di masa tua, dan di India tingginya biaya penyediaan mahar berarti bahwa anak perempuan merupakan biaya finansial yang sangat tinggi sementara imbalannya kecil. Juga di India, adat Hindu menetapkan bahwa anak laki-lakilah yang harus menunaikan hak kremasi. Jika tidak ada anak laki-laki, ritual kremasi tidak lengkap. Di Cina, Korea, dan bahkan Jepang, tidak punya anak laki-laki untuk meneruskan nama keluarga berarti aib bagi leluhur.

Di Asia, selama berabad-abad bayi perempuan teramat sering dicekik tidak lama setelah lahir. Tetapi sejak 1980-an, ketika mesin ultrasonik tersedia bagi para orang tua yang ingin mengetahui jenis kelamin anak mereka yang masih dalam kandungan, proses ini dimajukan. Aborsi menjadi pengganti pembunuhan bayi yang lebih efektif. Sebenarnya begitu efektifnya sehingga banyak wilayah Asia tak lama lagi akan menghadapi ketimpangan gender yang lebih serius daripada yang per nah dihadapi di mana pun sepanjang sejarah. Sesungguhnya, pada 2030, jika kecenderungan yang sekarang tentu berlanjut, jumlah pria di India dan Cina saja akan sekitar 250 juta lebih banyak di bandingkan wanita, banyak di antaranya adalah pria “surplus”—pria yang tidak bisa menikah karena kurangnya wanita. Ini dalam kebudayaan yang sangat mengagungkan pernikahan. Dan di situlah ironisnya: kebudayaan yang begitu kukuh mengutamakan adanya anak laki-laki sehingga jutaan pria akan tidak bisa menikah dan karenanya tidak bisa punya anak laki-laki yang begitu didambakan.
Di negara Asia mana ketimpangan gender ini paling serius? Korea Selatan, Pakistan, Bangladesh, Nepal, India, dan Cina semuanya menghadapi masalah ini. Tetapi persoalan ini paling akut di India dan Cina. Di Korea sudah serius, yaitu untuk setiap 1.000 bayi perempuan yang dilahirkan, ada 1.108 bayi laki-laki. Beberapa tahun yang lalu angkanya adalah 1.013 bayi laki-laki untuk setiap 1.000 bayi perempuan. Ketimpangan ini mulai berkurang akibat program pendidikan pemerintah dan penegakan hukum yang lebih tegas terhadap aborsi atas dasar seleksi jenis kelamin. Namun, masalahnya masih cukup serius sehingga banyak pria muda Korea dewasa ini harus melirik ke luar negeri untuk mencari istri.
Makelar pernikahan menawarkan diri kepada pria Korea untuk mencarikan istri di Vietnam, misalnya. Warga etnis Korea yang tinggal di Cina adalah sumber lainnya. Wanita juga datang dari Mongolia, Filipina, Thailand, Kamboja, dan Uzbekistan. Pada 2005, pernikahan dengan orang asing mencapai angka yang luar biasa, 14% dari seluruh pernikahan di Korea Selatan, naik dari 4% pada 2000. Baliho yang mengiklankan jasa perusahaan-perusahaan yang membantu mengatur pernikahan dengan orang asing bermunculan di seluruh Korea Selatan. Korean Consumer Protection Board memperkirakan bahwa sekarang ada antara 2.000 dan 3.000 agensi semacam itu.
Sudah tidak zamannya lagi memuji kolonialisme Inggris untuk segala hal. Tetapi sebenarnya, pemerintahan kolonial Inggris di India, seperti di sebagian besar koloni Inggris lainnya, sudah berbuat banyak untuk melawan adat-adat lokal yang tidak adil yang tujuannya semata-mata agar perempuan tentu tunduk.
Praktik istri simpanan sudah dilarang di Hong Kong, misalnya. Dan di India, pada 1891 batas usia kawin dinaikkan sehingga memaksa pengantin perempuan yang baru berusia 10 tahun untuk melakukan hubungan seks dengan suami yang sudah berumur termasuk perbuatan ilegal. Sati, adat di mana janda mati menerjunkan diri ke dalam api yang berkobar dari tumpukan kayu pembakaran mayat suaminya, sudah dilarang pada 1829. Dan pada 1856, Hindu Widow Remarriage Act disetujui, yang memberi wanita Hindu yang sudah menjanda hak untuk menikah lagi. Sebelumnya, adat menentukan bahwa mereka tidak mungkin menikah lagi padahal adat juga tidak mengatur agar keluarga almarhum suami merawat mereka, sehingga banyak yang lalu terpaksa mengemis dan melacur. Tetapi, dengan semua hukum itu pun, tradisi ini berlanjut.

Di seluruh India anak perempuan masih dianggap sebagai beban bagi banyak keluarga. Pada akhirnya mereka akan menjadi milik keluarga calon suami sehingga setiap pengeluaran untuk kesehatan atau pendidikan mereka akan menjadi pengeluaran yang ujung-ujungnya menguntungkan pihak lain. Masalah ini diperparah oleh pembayaran mahar, yang, meski ilegal, tetap dituntut dalam beberapa komunitas.
Di negara-negara maju, pada saat kelahiran, rasio seks alami sedikit condong ke arah anak laki-laki. Tetapi di India, rasio bayi perempuan terhadap bayi laki-laki terus merosot. Pada 1961, 976 bayi perempuan dilahirkan untuk setiap 1.000 bayi laki-laki. Pada 2002, angka untuk bayi perempuan turun menjadi 927. Pada 2005, perkiraannya adalah 896.3 Sekarang ini di beberapa wilayah hanya ada 6 bayi perempuan untuk setiap 10 bayi laki-laki. Hal ini ikut menyebabkan parahnya ketimpangan keseluruhan. Pada 2002, jumlah pria di India sekitar 35 juta lebih banyak daripada wanita. Pada 2006, angka ini mendekati 65 juta. Ini benar-benar berlawanan dengan keadaan dalam perekonomian maju yang, karena wanita cenderung hidup lebih lama daripada pria, secara keseluruhan memiliki lebih banyak wanita. AS, misalnya, dengan penduduk 300 juta, pada 2006 memiliki 9 juta lebih banyak wanita daripada pria.
Dampak rendahnya angka kelahiran bayi perempuan di India masih diperparah oleh perawatan yang di terima banyak bayi perempuan. Risiko pembunuhan bayi tetap ada tetapi itu masih belum mengungkapkan cerita selengkapnya. Banyak bayi perempuan yang meninggal semata-mata karena ditelantarkan: anak laki-laki mendapat perawatan yang lebih baik daripada anak wanita. Seandainya seorang anak laki-laki jatuh sakit, misalnya, akan lebih banyak uang yang dikeluarkan untuk perawatan kesehatannya. Dia akan dibawa ke rumah sakit lebih cepat dan diberi obar lebih banyak. Ini hanya masalah perhitungan ekonomi: anak laki-laki memiliki nilai sekarang bersih (net present value) yang lebih tinggi daripada anak perempuan. Dan akibatnya, sekarang ini anak perempuan yang meninggal dalam lima tahun pertama hidup mereka sekitar satu juta lebih banyak daripada anak laki-laki untuk setiap gelombang kohor.
Anak perempuan juga lebih berkemungkinan tidak disekolahkan, yang berarti bahwa peluang mereka lebih kecil untuk mendapatkan pekerjaan yang baik untuk memutus lingkaran kemiskinan. Sebuah penelitian yang dilakukan pada 2006 oleh seorang profesor di University of Toronto dan seorang periset medis yang berbasis di India, yang diterbitkan dalam The Lancet, jurnal kedokteran Inggris, memperkirakan bahwa setiap tahun, ju mlah bayi perempuan yang dilahirkan di India kurang 500.000 dari yang semestinya, sehingga para periset ini dapat memperkirakan bahwa dari 1985 hingga 2005 mungkin sudah 10 juta janin perempuan yang digugurkan. Hal ini sejalan dengan semakin tersedianya peralatan ultrasonik yang memungkinkan orang mengetahui jenis kelamin anak yang masih dalam kandungan. Kedua periset itu menemukan bahwa di antara 133.738 kelahiran yang mereka survei, dalam keluarga-keluarga yang anak pertamanya adalah perempuan, rasio anak perempuan terhadap anak laki-laki untuk anak kedua adalah 759 anak perempuan per 1.000 anak laki-laki. Dan jika sudah ada dua anak perempuan, rasionya adalah 719 untuk setiap 1.000 anak laki-laki, yang menyiratkan bahwa banyak keluarga yang mengambil langkah-langkah tertentu untuk memastikan bahwa paling tidak satu dari anak-anak mereka berkelamin pria.
Pada 1994 diberlakukan larangan untuk mencegah para dokter memberitahukan jenis kelamin anak yang masih dalam kandungan kepada orang tua sebagai cara untuk mengatasi persoalan ini. Seorang wanita hamil yang mencari jasa seleksi jenis kelamin bayi akan dikenai denda 50.000 rupee (sekitar USS1.100) dan dokter yang terbukti membantu bisa saja dicabut izin praktiknya. Tetapi, peraturan ini seringkali diabaikan dan penegakannya memang buruk.
Penelitian dalam The Lancet ini menemukan bahwa ketimpangan gender di antara anak-anak sebenarnya meningkat di kalangan keluarga yang lebih berpendidikan dan lebih makmur, yang menyiratkan bahwa mereka lebih pandai mencari celah untuk menghindari hukum. Mereka sanggup membayar prosedur untuk mengetahui jenis kelamin anak yang masih dalam kandungan lain membiayai prosedur untuk membereskan keadaan.
Karena peralatan ultrasonik semakin murah, akan banyak lagi Hindu di India yang mampu membeli alat itu, khususnya di daerah-daerah yang lebih miskin dan lebih terpencil, dan akibatnya ketimpangan gender akan memburuk.
Di Cina, kebijakan sate anak juga mendorong praktik aborsi yang serupa. Banyak keluarga yang berpendapat bahwa jika mereka hanya diperbolehkan memiliki satu anak, maka lebih baik anak itu anak laki-laki. Dengan lebih sedikit anak, semua alasan untuk menginginkan anak laki-laki jadi semakin kuat. Pada 2006, diperkirakan bahwa Cina memiliki 40 juta bujangan gara-gara ketimpangan rasio seks. Dan secara keseluruhan, dari penduduk berjumlah 1.314 miliar jiwa, jumlah pria hampir 80 juta lebih banyak daripada wanita. Hanya raja situasinya mungkin tidak persis seperti di India.
Seperti biasa, segalanya tidak begitu jelas. Keluarga di banyak kawasan Asia memang lebih suka anak laki-laki daripada perempuan dan memang mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa mereka memilih anak laki-laki, bukan perempuan. Tetapi, sampai sejauh mana aborsi selektif dan pembunuhan bayi bertanggung jawab atas besarnya ketimpangan yang kita saksikan sekarang ini mungkin sudah dibesar-besarkan. Wanita hamil yang mengidap hepatitis B terbukti jauh lebih berkemungkinan melahirkan bayi daripada perempuan. Sebuah penelitian Harvard University pada 2005 memakai temuan ini dan menerapkannya pada angka kelahiran di beberapa negara yang mengalami ketimpangan gender yang cukup besar, termasuk Cina dan India, negara tempat, ternyata, kasus hepatitis B lazim ditemui. Mereka menemukan bahwa virus itu dapat menjelaskan 7 5 c%o dari hilangnya kelahiran bayi perempuan di Cina dan 20% dari hilangnya kelahiran bayi perempuan di India.`’ Hal ini menunjukkan bahwa meskipun aborsi berdasarkan seleksi jenis kelamin berperan signifikan dalam masalah di Cina, tindakan remedial yang penting adalah pemberantasan hepatitis B. Tetapi, di India langkah ini tidak akan begitu efektif sebagai cara untuk memperbaiki ketimpangan gender.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Agung Nugroho | Bloggerized by Beyuk - Premium Blogger Themes | Holigans